7 Negara yang Punya Kebiasaan Kerja Unik
Diunggah oleh Admin SK pada 28 May 2024
Dunia kerja terus berkembang, dan setiap negara memiliki budaya kerja yang khas. Beberapa kebiasaan ini mungkin terdengar aneh bagi orang luar, tetapi mereka mencerminkan nilai, prioritas, dan cara hidup masyarakat setempat. Berikut adalah tujuh negara dengan kebiasaan kerja unik yang menarik untuk diketahui.
1. Jepang: "Karoshi" dan Budaya Lembur
Jepang memiliki reputasi global sebagai negara dengan etos kerja yang sangat tinggi, dan salah satu aspek paling menonjol dari budaya kerja mereka adalah fenomena "karoshi," atau kematian akibat kerja berlebihan. Fenomena ini mencerminkan dedikasi ekstrem yang diharapkan dari pekerja Jepang, di mana jam kerja yang panjang dan tekanan untuk terus bekerja sangat tinggi. Karyawan sering kali bekerja lebih dari 12 jam sehari dan merasa terpaksa untuk tetap berada di kantor sampai atasan mereka pulang. Selain itu, budaya perusahaan yang mengutamakan senioritas membuat banyak pekerja merasa sulit untuk mengambil cuti atau libur panjang.
Namun, perubahan sedang terjadi di Jepang. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah dan perusahaan mulai menyadari dampak negatif dari budaya kerja yang berlebihan ini terhadap kesehatan mental dan fisik karyawan. Program "Premium Friday" adalah salah satu upaya pemerintah untuk mendorong perusahaan agar memberi karyawan izin pulang lebih awal pada Jumat terakhir setiap bulan. Beberapa perusahaan juga mulai mengimplementasikan kebijakan kerja yang lebih fleksibel dan menekankan pentingnya keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi.
2. Swedia: Fika dan Jam Kerja Pendek
Di Swedia, kesejahteraan karyawan adalah prioritas utama, dan salah satu manifestasi dari hal ini adalah tradisi "fika." Fika bukan sekadar istirahat kopi biasa; ini adalah waktu khusus untuk beristirahat dan bersosialisasi dengan rekan kerja, sering kali disertai dengan kopi dan kue. Fika biasanya dilakukan dua kali sehari, dan ini membantu memperkuat hubungan antar karyawan serta meningkatkan suasana kerja. Konsep ini menunjukkan betapa pentingnya hubungan interpersonal dan istirahat yang cukup dalam budaya kerja Swedia.
Selain itu, Swedia terkenal dengan eksperimen jam kerja enam jam. Beberapa perusahaan telah mencoba pendekatan ini dan menemukan bahwa produktivitas tidak menurun, meskipun jam kerja lebih pendek. Sebaliknya, karyawan merasa lebih bahagia dan lebih sedikit mengalami kelelahan. Hal ini menunjukkan bahwa keseimbangan antara waktu kerja dan waktu pribadi bisa meningkatkan efisiensi dan kualitas kerja. Kebijakan cuti yang panjang dan fleksibel juga mendukung gaya hidup ini, memungkinkan karyawan untuk lebih menyeimbangkan tanggung jawab profesional dan pribadi mereka.
3. Spanyol: Siesta
Spanyol memiliki budaya kerja yang unik dengan tradisi "siesta," yaitu istirahat siang yang panjang antara pukul 2 hingga 5 sore. Selama waktu ini, banyak bisnis, terutama di kota-kota kecil dan pedesaan, tutup sementara agar karyawan bisa pulang untuk makan siang dan beristirahat. Siesta membantu pekerja menghindari panas terik di siang hari, memberikan waktu untuk bersantai, dan kembali bekerja dengan energi yang diperbarui. Praktik ini sangat bermanfaat dalam menjaga produktivitas dan kesehatan mental karyawan.
Namun, di kota-kota besar seperti Madrid dan Barcelona, pengaruh globalisasi dan ritme bisnis modern telah membuat siesta semakin jarang dipraktikkan. Banyak perusahaan kini mengadopsi jam kerja yang lebih sesuai dengan standar internasional, tanpa jeda panjang di tengah hari. Meski begitu, konsep istirahat yang cukup dan menghargai keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi tetap menjadi nilai penting dalam budaya kerja Spanyol. Banyak perusahaan kini mengadopsi kebijakan yang mendukung kesejahteraan karyawan, seperti jam kerja fleksibel dan cuti tahunan yang panjang.
4. Denmark: Fleksibilitas dan Kebahagiaan Kerja
Denmark secara konsisten dinobatkan sebagai salah satu negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi di dunia, dan hal ini sebagian besar disebabkan oleh budaya kerja yang sangat fleksibel. Konsep "flexitime" atau waktu kerja fleksibel memungkinkan karyawan untuk menentukan sendiri jam kerja mereka, asalkan tugas mereka selesai. Fleksibilitas ini memungkinkan karyawan untuk menyeimbangkan pekerjaan dengan kehidupan pribadi mereka, mengurangi stres, dan meningkatkan kebahagiaan secara keseluruhan. Selain itu, perusahaan Denmark biasanya mengadopsi struktur organisasi yang flat, di mana komunikasi terbuka dan hierarki minimal adalah norma.
Selain itu, Denmark sangat menghargai keseimbangan kehidupan kerja, dengan kebijakan cuti yang baik terutama untuk orang tua. Pekerja memiliki hak cuti yang murah hati saat mereka memiliki anak, termasuk cuti ayah yang panjang. Pemerintah juga mendukung kebijakan ini dengan memberikan subsidi bagi orang tua yang mengambil cuti. Budaya ini memastikan bahwa pekerja tidak hanya dihargai atas kontribusi profesional mereka, tetapi juga didukung dalam peran mereka di rumah. Hasilnya adalah tenaga kerja yang lebih puas, produktif, dan setia kepada perusahaan mereka.
5. Korea Selatan: Nomophobia dan Kerja Keras
Korea Selatan dikenal dengan jam kerja yang panjang dan budaya perusahaan yang kompetitif. Pekerja sering kali harus menghabiskan banyak waktu di kantor, dan ada tekanan besar untuk terus bekerja keras. Salah satu fenomena unik di Korea Selatan adalah "nomophobia," ketakutan untuk berada tanpa ponsel. Banyak karyawan yang merasa perlu selalu terhubung dengan pekerjaan mereka melalui ponsel, bahkan di luar jam kerja. Ini menciptakan lingkungan kerja di mana batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi sangat kabur.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Korea Selatan mulai memperkenalkan langkah-langkah untuk mengurangi jam kerja dan meningkatkan kesejahteraan karyawan. Misalnya, pada tahun 2018, undang-undang baru diberlakukan yang mengurangi batas maksimal jam kerja mingguan dari 68 jam menjadi 52 jam. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi stres dan meningkatkan kualitas hidup karyawan. Beberapa perusahaan juga mulai mempromosikan keseimbangan kehidupan kerja dengan memberikan lebih banyak fleksibilitas dan waktu istirahat.
6. Italia: Dolce Far Niente
Italia dikenal dengan pendekatan yang santai terhadap kehidupan dan pekerjaan, yang tercermin dalam konsep "dolce far niente," atau seni tidak melakukan apa-apa. Ini adalah filosofi yang menekankan pentingnya menikmati waktu luang dan menghargai momen-momen sederhana dalam hidup. Di tempat kerja, ini berarti bahwa banyak perusahaan Italia memperhatikan kesejahteraan karyawan dengan memastikan adanya waktu istirahat yang cukup dan menghargai waktu liburan. Waktu makan siang yang panjang dan menikmati makan bersama adalah bagian penting dari budaya kerja di Italia.
Selain itu, cuti tahunan yang panjang adalah hal biasa di Italia, dengan banyak pekerja mengambil liburan selama beberapa minggu di musim panas. Ini tidak hanya membantu dalam mengurangi stres tetapi juga meningkatkan produktivitas ketika karyawan kembali bekerja dengan semangat baru. Perusahaan di Italia juga cenderung lebih memahami dan mendukung kebutuhan karyawan untuk menyeimbangkan antara kehidupan pribadi dan profesional, yang membuat lingkungan kerja di negara ini lebih manusiawi dan ramah.
7. Belanda: Part-Time Economy
Belanda memiliki budaya kerja yang unik dengan proporsi pekerja paruh waktu yang sangat tinggi. Banyak pekerja, terutama wanita, memilih untuk bekerja paruh waktu demi menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Sekitar setengah dari tenaga kerja wanita di Belanda bekerja paruh waktu, dan ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang fleksibel serta perlindungan sosial yang kuat. Pendekatan ini memungkinkan karyawan untuk tetap aktif secara profesional tanpa harus mengorbankan waktu bersama keluarga atau kegiatan pribadi lainnya.
Selain itu, perusahaan di Belanda sangat mendukung keseimbangan kehidupan kerja dan sering kali menawarkan fleksibilitas dalam jam kerja dan tempat kerja. Banyak perusahaan menerapkan kebijakan kerja dari rumah yang memungkinkan karyawan untuk mengatur jadwal mereka sendiri. Ini tidak hanya meningkatkan kepuasan karyawan tetapi juga produktivitas, karena karyawan merasa lebih dihargai dan termotivasi. Kebijakan cuti yang murah hati dan pendekatan yang berfokus pada hasil daripada jumlah jam kerja juga menjadi ciri khas budaya kerja Belanda, menciptakan lingkungan yang produktif dan sejahtera bagi semua pekerja.
Setiap negara memiliki pendekatan unik terhadap budaya kerja yang mencerminkan nilai dan prioritas masyarakatnya. Dari lembur ekstrem di Jepang hingga keseimbangan kehidupan kerja yang luar biasa di Belanda, kebiasaan kerja ini menawarkan pelajaran berharga tentang bagaimana berbagai budaya dapat memengaruhi kesejahteraan dan produktivitas karyawan. Memahami dan menghargai perbedaan ini dapat membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan efektif di tingkat global.
